Monday, July 27, 2009

Pak Tasiran


Gambar bukan hasil jepretan saya sendiri, tapi diambil dari sini.

Melintasi lajur tol Bintaro - BSD, sempat kulihat bentangan sawah itu. Berada disisi kiri jalan tol, sawah itu nampak kuning mengemas, siap untuk dipanen saat tiba masanya. Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah bertekad untuk pergi kesana suatu hari nanti. Maklum, jarang-jarang bisa pergi dan melihat sawah di tengah rimba ibukota yang semakin padat ini.

Dan akhirnya, keinginan itu terwujud Sabtu pagi kemarin. Dengan semangat kukayuh sepeda merah jambuku bersama si kecil yang dengan setia berpegang erat di pinggang, menuju hamparan pematang yang semakin menguning. Suami juga terlihat mengayuh sepedanya sendiri dengan sepenuh energi.

Ternyata medan menuju kesana tidaklah mudah. Banyak tanjakan dan turunan yang harus kami lalui. Fyuhh.. namun akhirnya kami sampai juga. Sepeda terpaksa kami parkir di tempat yang agak jauh, mengingat jalan setapak menuju sawah terlalu curam untuk dilewati sebuah sepeda. Pematang yang becek menyambut kami, membuat sandal dan sepatu terasa menebal oleh lumpur yang melekat. Kawanan burung terbang, sepertinya terganggu dengan kedatangan kami. Di kiri kanan, jajaran rapi tanaman kacang tumbuh dengan suburnya. Di depan, nampak rimbunan pohon semak belukar yang tumbuh dengan lebat, menutup pandangan kami ke sawah tujuan kami.

Dan akhirnya, di balik rimbunan semak, kami telah sampai pada apa yang telah kami niatkan sejak awal. Nampak hamparan luas rumpun padi terbentang di hadapan kami. Subhanallah, indah sekali. Warna keemasan merajai pandangan, diselingi hijau daun tumpang sari yang tumbuh di sela-sela. Kicau burung riuh bersautan, berebut bulir-bulir padi yang nampak bernas.

Di kejauhan, terlihat dua ibu yang tengah sibuk merontokan padi dan menampungnya di atas bentangan karung goni. Nampak pula bapak tani menjalin tali temali yang menghubungkannya dengan beberapa orang-orangan yang tersebar di seluruh penjuru sawah. Sungguh, bukan sebuah pemandangan biasa.

Putriku dengan semangat ikut membantu pak tani menghela tali, mengusir kawanan burung lapar yang selalu siap mematuk butiran beras yang telah siap panen itu. Sambil menunggu, kusempatkan duduk di bangku bambu tempat pak tani bekerja, sembari bercakap dengan beliau. Pak Tasiran namanya, berasal dari daerah Batu, Malang. Tinggal di daerah Kampung Sawah dan bertani disitu sejak 1959. Hmmm...bukan waktu yang sebentar, pikirku. Kutanya pula kepada beliau mengenai status kepemilikan lahan, dengan jawaban yang sudah dapat kutebak dari awal: bahwa lahan dimana sawah tempat beliau bertani tersebut milik salah satu pengembang besar di wilayah Bintaro. Justru jawabannya akan mengherankan apabila lahan tersebut adalah milik beliau seorang, mengingat nilai tanah yang menyentuh enam digit per meter perseginya menjadi sangat berarti jika dibandingkan dengan hasil panen per tahunnya.

Alhamdulillah, banyak pelajaran yang dapat kami petik dari kunjungan ini. Pak Tasiran, dengan segenap kesederhanaan dan ketekunannya mampu mengetuk hati kami bertiga. Tubuh rentanya tidak mampu menyembunyikan semangat beliau untuk terus berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya, ditengah segala kesulitan yang dia hadapi. Namun diantara semua kesulitan yang ada, beliau tetap tersenyum. Dengan sabar, dia jawab semua pertanyaan kami. Tiga prinsip yang selalu beliau pegang: sabar, ikhtiar, dan jembar. Sabar untuk semua ujian yang harus dihadapi, berikhtiar untuk hasil yang terbaik, dan jembar dalam menyikapi semua permasalahan (luas - mungkin lebih tepat apabila diartikan untuk selalu berpikir positif). Pak Tasiran, hatimu mungkin terbuat dari emas, seemas lautan padi yang setiap hari engkau kelola.

Jakarta, medio 28 Juli 2009.

5 comments:

dwiks said...

wuiihh.. dimana tuh mba'?
Si Nina "norak" ngga liat sawah getu...?
kemarin liat nya pasti pake mata hati yah? bukan mata binis?
kalo liat pake mata bisnis, pasti beda nulisnya...
Alhamdulillah, sampeyan masih "rasa lokal" walaupun sempet "dicharge" di luar.
Btw, emang deket yah lokasi sawah ma rumah mu?

intan said...

@ Dwiks;
haha.. ada2 aja kamu. Emang biasanya gw mata bisnis yak (baca: mata duitan).
Deket banget wik.. paling cuman sekilo. Mau gabung kesana?
Nina mayan norak euy, screaming and shouting, excited banget ;)

amethys said...

looh jeng Intan udah di Indonesia lagi? for good?

selamatttt.......aduhhh itu sawah ditengah kota, hebattt

saya blom berencana pulang, tapi Insya Allah saya usahakan pulang paling ngga awal th depan

Anonymous said...

uhm..
sawahnya sekeren gambarnya nggak mbak? hehehe

intan said...

@ Mbak Wied:
Iya mbak, pulang dah setahun yll & for good..
Iya lho, sempet kegirangan bisa liat sawah kek gitu, dah lama gk liat soalnya (norak..xixixi..)
@ Popok:
Gambar sawah yg di tulisan bukan sawah yang aku datengi mas, tp ngambil punya Mas Moumtaza (see: moumtaza.wordpress). Ada kok reff-nya.
Yg disini lumayan indah, tp gk seluas itu..he..he.. Kapan2 saya upload gambarnya :)