Friday, December 07, 2007

Percakapan di Sudut Taman


Musim panas mulai merangkak, mengusir pelan musim semi yang terasa nyaman. Awan hujan terasa jarang menampakkan diri. Petak-petak tanah mulai merekah, menantikan tetesan air untuk sekedar menutup bilur-bilur rekahan yang tampak semakin mengular. Kolam bebek di taman dekat rumah sudah beberapa pekan ini tidak terlihat seperti kolam lagi. Kering, kerontang. Bebek-bebek lucu yang biasanya setia menjadi penghuni kolam itu kini telah pergi, terbang mencari sungai atau kolam lain yang masih menyisakan air untuk mereka berenang.

Putriku sungguh menikmati waktu-waktunya habis di taman itu. Tapi kini, sepertinya kenikmatan itu tidak sesempurna saat kolam itu masih penuh. Alih-alih memberi makan bebek, dia tampak menyibukkan diri berkejaran dengan kupu-kupu di sela-sela petak bunga mawar. Aku duduk di bangku, di sudut taman mawar, sambil memandangi si kecil yang berlarian. Raut mukanya yang kelelahan membuatku segera memanggilnya.

"Sayang.. sini nak... minum dulu"

Dengan semangat dia meneguk air putih dari botol yang kuulurkan kepadanya.

"Mummy..why the pond is dry now?" tanyanya dengan muka ingin tau.

"Ya.. karena sekarang sudah mulai musim panas, sayang. Matahari muncul lebih lama, air yang ada di kolam menguap terkena panas matahari" terangku hati-hati.

"But..but..why there's only little amount of water in Australia. We have lots in Indonesia, we frequently get flooding"

mmmm...pertanyaan bagus. Aku berpikir sejenak, menyusun kalimat yang sekiranya mudah untuk dicerna anak seumur dia.

"Ya, memang begitu. Mungkin iklim dan tekstur tanah yang membuat demikian. Allah menciptakan iklim dan tekstur tanah yang berlainan di bumi ini."

"What is iklim and tekstur tanah? Tanah..you mean soil?" kejarnya lagi.

"Ya, tanah is soil. Tekstur tanah di sini cenderung berpasir, see..pasir tidak bisa menahan dan menyimpan air..." terangku lagi. Dan aku mulai kehilangan arah dalam memilih dan memilah kata yang mudah dimengerti dan tidak.

...

Percakapan pun mengalir, menyita waktu kami di tengah hari itu. Percakapan yang menuntunku untuk terus belajar, demi menjawab beribu pertanyaan yang tiada habisnya.

"Why mummy?"..

"How's mummy?"..

"But...what's the difference?"

Saat menemui jalan buntu dan tidak menemukan jawaban, sering aku melempar balik dia dengan pertanyaan. Atau, kutawarkan dia untuk menemukan jawabannya melalui internet.
Ya, aku memang harus belajar lebih banyak. Kusadari bahwa ibu adalah salah satu mata air pengetahuan bagi putra-putrinya. Dan kusadari pula bahwa aku memiliki sejuta kekurangan dalam hal itu..

Thursday, November 15, 2007

Malaysia ... Tak Akan Pernah Bisa Kau Ambil Budaya Kami !!

Tulisan ini termotivasi dari ribut-ribut mengenai lagu Rasa Sayange yang diklaim oleh pihak Malaysia. Meskipun akhirnya pihak Malaysia sudah mengakui bahwa lagu itu adalah "milik bersama"... (what?? belongs together??), ternyata masih menyusul produk-produk budaya Indonesia lain yang menunggu untuk diklaim.

Baru-baru ini adalah lagu Jali-jali. Mungkin mereka pikir kata-kata 'Cikini' yang ada dalam syair lagu Jali-jali tersebut hanya untuk membuat rhyme dengan syair selanjutnya.. "sampai disini"... Ya, darimana lagi kosakata Cikini mereka datangkan? Atau, buru-buru sekali mereka membuat satu distrik dengan nama Cikini dengan tujuan mengaburkan fakta kalau lagu ini berasal dari Betawi (instead of Langkawi:) Bisa jadi khan?

Yang selanjutnya adalah Reog Ponorogo. Yang satu ini jelas mereka catut seenaknya sendiri dengan menjiplak seutuh-utuhnya fisik dan tarian Reog dan kemudian diberi nama Tarian Barongan. Satu hal yang berbeda, mereka hanya mengganti tulisan di kepala Reog dengan Malaysia (detail selengkapnya dapat diklik disini). Kalau mereka bisa mengetahui tarian ini, mungkin karena hadirnya ribuan tenaga kerja Indonesia yang sudah lama menetap disana, dimana sebagian dari tenaga kerja tersebut berasal dari daerah Ponorogo (maaf, ini hanya hypothesis saya tanpa ada maksud untuk mendiskreditkan siapapun). Tapi, darimana mereka bisa membuat kostumnya? Atau jangan-jangan, mereka mendatangkan perajin reog khusus untuk mengajari mereka bagaimana cara membuatnya. Ya.. masuk akal memang..

Research kecil-kecilan juga saya lakukan untuk tarian-tarian Indonesia yang lain. Terkaget-kaget saya dibuatnya. Tarian Jaran Kepang yang jelas-jelas berasal dari tanah Jawa, ternyata juga diakui sebagai bagian dari budaya mereka (detail klik disini). Di portal tersebut dikatakan bahwa:

"Kuda Kepang menampakkan pengaruh Jawa dan Islam. Pengaruh Jawa terlihat pada pakaian penari-penari..."

Walahhh..ini mah bukan cuma 'pengaruh'... Memang tarian itu mutlak berasal dari Jawa. Logikanya, kalau memang sampai menyebar ke Malaysia, kenapa daerah-daerah lain di Indonesia (yang notabene lebih dekat dibanding Malaysia) tidak terpengaruh? Ya, sekali lagi karena penduduk Indonesia tahu persis kalau tarian ini memang berasal dari Jawa. Dan lagi, masing-masing daerah sudah kaya dengan budayanya sendiri. Asli, otentik, dan melimpah...

Masih banyak tarian lain yang potensial untuk diklaim Malaysia. Sebut saja Tarian Piring (disini) dan Tarian Lilin (disini). Untuk dua tarian ini, di portal memang disebutkan bahwa keduanya berasal dari Sumatra. Tapi mengingat yang sudah-sudah, tidak heran kalau ke depan keduanya diklaim asli dari Malaysia ... he..he...

Dengan adanya permasalahan2 tersebut diatas (yang notabene cuma 'sebagian kecil'), pelajaran apa yang bisa kita ambil? Ya, at least menurut saya sudah saatnya kita sadar dan kembali kepada budaya-budaya yang kita miliki. Kita mempunyai ribuan kekayaan budaya, jangan sia-siakan dengan melepasnya menjadi bagian dari bangsa lain (maafkan sebelumya kalau terlalu menggurui:p). Mengutip dari kata Aa' Gym, mulailah dari diri sendiri. Ya, siapa lagi yang bisa menjaga budaya kita kalau bukan kita sendiri? Caranya? Mungkin dengan memasukkan anak-anak kita ke sanggar tari. Belajar balet memang bagus, tapi lebih perlu lagi untuk belajar tari Jaipong (misalnya). Atau, belajar piano memang perlu. Tapi, apa salahnya kalau kita juga belajar angklung, gamelan atau kulintang? Peran layar LCD juga sangat besar (bukan layar kaca lagi ya...:) Tidak ada salahnya khan kalau dunia pertelevisian kita menayangkan produk budaya dari satu propinsi secara bergantian... Hitung-hitung kontribusi kepada negara..he..he.. Hingga pada saatnya nanti dengan bangga kita akan bisa mengucapkan "Malaysia ... Tak Akan Pernah Bisa Kau Ambil Budaya Kami !! Seluruh rakyat Indonesia sadar budaya"

Pertanyaannya selanjutnya adalah, sudahkah saya mulai mempelajari budaya sendiri? Jawabannya, belum. Karena itu, pada saat kepulangan saya di bulan Juli tahun depan, saya berniat untuk belajar memainkan Siter, alat musik dari Jawa Tengah yang menyerupai gitar. Adakah di antara pembaca yang bisa membantu dimana bisa mempelajarinya?

Wednesday, October 17, 2007

Antara Bahasa, English dan Boso Jowo

Kebetulan keluarga kecil kami diberi rezeki untuk sedikit menambah pengalaman di negeri yang kata orang di kampungku "negoro londo", bukan Australia dimana saat ini kami menjejakkan kaki. Permasalahan yang muncul namun tidak begitu kami sadari selama tinggal disini adalah pemakaian bahasa sehari-hari yang kurang begitu konsisten.

Pada saat awal-awal disini, kami sering menggunakan English selama berdiskusi mengenai topik yang kami tidak ingin putri kecil kami ikut mengetahuinya. Biasanya ini menyangkut debat mengenai perbedaan pola didik yang sebaiknya diterapkan pada perkembangan si kecil, atau memang masalah lain yang dia belum waktunya ikut mendengar:) eg. Gak lucu khan kalau aku lagi nasehatin dia supaya lebih disiplin, eh suami malah menimpali bahwa anak kecil jangan diperlakukan seperti itu karena bla..bla..bla... Yang ada si kecil malah jadi kegeeran khan, dan bisa jadi makin menjadi-jadi. Nah, dalam kondisi inilah biasanya kami sepakat untuk menggunakan strategy "bahasa sandi", yang dalam hal ini English itulah.. Pemakaian bahasa sandi ini juga bukan berarti kami tidak ingin mengajak dia berdiskusi. Kami berdiskusi setiap hari dengan topik bahasan yang biasa dia ajukan.. Sekali lagi, ini hanya untuk topik yang memang belum menjadi atau bukan konsumsi dia.

Seiring dengan perkembangan waktu, si kecil justru lebih menguasai English daripada kami berdua. Perkembangan vocabulariesnya luar biasa. Hingga pada suatu point of time dimana dia memilih untuk speak english actively rather than Bahasa. Tapi tentu saja dia masih menguasai Bahasa meskipun secara Pasive. Akhirnya kamipun sepakat untuk putus hubungan dengan English selama di rumah dan memilih untuk menggunakan Boso Jowo sebagai bahasa sandi, yang tentu saja kurang begitu dia fahami. Untuk sementara permasalahan dapat teratasi.

Waktu kembali berjalan. Mungkin dari seringnya dia mendengar percakapan kami, tanpa diduga, si kecil mulai menguasai Boso Jowo secara passive. Hal ini ditandai dengan tanggapan2 yang dia lontarkan pada saat kami berdiskusi, meskipun tentu saja dengan Englishnya yang makin lama makin paten. Tapi, mengingat tanggapan2 dia cukup mengena, kami mulai merasa bahwa Boso Jowo sudah tidak efektif lagi untuk menjadi bahasa sandi.. Permasalahannya adalah, kami tidak menguasai bahasa lain selain ketiga bahasa tersebut di atas.. Otakpun diputar dan akhirnya suami mengusulkan untuk memakai Boso Jowo Kromo Halus alih-alih Boso Jowo biasa. Tapi karena aku dan suami kurang begitu menguasainya, diskusi kami jadi salah kaprah..malah kadang gak nyambung..ha..ha..

Besar kemungkinan dimana orangtua, sesepuh atau kerabat keraton yang saat ini masih aktif menggunakan Kromo Halus mendengar percapakapan kami, mereka bahkan tidak akan tau bahwa kami sedang berusaha memakai bahasa mereka...duhh...

Tuesday, July 03, 2007

Sakit Gigi

Sungguh, penderitaan yang tak terkira jikalau anda mengalami sakit gigi saat sedang berada di negeri orang. Seperti saya saat ini. Kebetulan saya "dianugerahi" 4 gigi geraham bungsu yang semuanya bandel. Meskipun dokter bilang bahwa tidak terdapat cukup ruang bagi mereka, mereka tetap ingin tumbuh...membuktikan eksistensi diri mereka:P Walhasil, si empunya gigi harus menahan sakit yang rasanya "sedunia" saat salah satu atau dua atau lebih mencari ruang yang tersisa buat menempatkan tubuh putih mereka. Jalan keluar dari sakit gigi ini sebenarnya cuma 1: mengangkat gigi-gigi itu melalui bedah mulut. Sayangnya, sama seperti halnya dengan gigi yang dipunyainya, si empu gigi ternyata juga terbilang bandel. Setiap kali sakit karena "desakan" gigi timbul, selalu berjanji: setelah ini selesai, segera operasi. Tetapi begitu sakit menghilang, ketakutan lah yang muncul: bagaimana nanti kalau ada syaraf yang ikut tercerabut? Bagaimana kalau... Bagaimana kalau... Dan akhirnya...janji operasi tinggal janji:(

Saat ini, ketika kedua kaki tidak lagi berpijak di bumi pertiwi, penyesalanlah yang menguasai: Kenapa tidak dari dulu saja tindakan diambil? Sekarang? Mau ngomong pake bahasa indo saja rasanya susah sekali (saking rasanya yang "aduhai"), apalagi ngomong dengan bahasa lain dengan kosakata "perdentist-an" yang sangat terbatas. Belum lagi biaya jasa dokter gigi yang melambung setinggi langit... Bayangkan... untuk tambal gigi (satu gigi), kita bisa dikenakan -/+ AUS$1000an. Bagaimana dengan bedah mulut (yang notabene bukan dilakukan dokter gigi lagi, melainkan dokter ahli bedah mulut), 4 gigi pula !@&* Gedubrak....

Dan akhirnya, sakit gigi tetap menjadi sakit gigi... Si Empu gigi ternyata terlalu takut dan perhitungan untuk menjalani operasi...

Wednesday, May 16, 2007

Laki-laki itu Bernama Paul

Sore itu suamiku sedang memarkir mobil kecil kami di depan rumah. Terlihat dua orang bergandengan, laki-laki dan perempuan, melintas di depan mobil kami. Tampak si laki-laki ragu-ragu antara ingin menyapa kami (benar-benar sapaan) atau hanya sekedar say hello saja. Memang sudah menjadi kebiasaan di kota ini untuk saling mengucapkan "hi" atau "hello" atau "morning" setiap kali berpapasan di jalan dengan siapapun. Belum lagi kami memulainya, ucapan "selamat sore" telah keluar dari mulutnya. Hah...selamat sore?? Tidak salahkah?(red-memang wajah kami "melayu" sekali, sehingga setiap orang langsung bisa mengambil kesimpulan kalau kami pasti orang indo/malay) Sesaat kemudian kami pun teringat kalau setiap anak sekolah dasar di sinipun mempelajari bahasa Indonesia. Namun belum lagi kami membalas sapaannya, dia bertanya lagi, "Asal dari mana?".Kamipun serempak menjawab "Indonesia...". "Oh ya?" balasnya. "Saya pikir kalian orang melayu, ternyata dari Indonesia. Kenalkan, nama saya Paul. Dan ini ibu saya, Maggie." Dan kamipun memperkenalkan diri.

Melihat logat bicara dan cara dia melafalkan nama kami, sayapun mengambil kesimpulan kalau si Paul pernah tinggal di Indonesia. Dan ternyata memang tidak salah. Paul pernah tinggal di sebuah daerah petani di Yogyakarta (mungkin maksud dia daerah pedesaan-red) selama tiga tahun, lebih tepatnya di desa Maguwoharjo. Walah....pernah ke Jogja tho... "Aku sangat suka dengan kota Jogja" katanya. Of course... everybody does. Bahkan mendengar dia mengucapkan kata Jogja membuatku kangen sekali dan segera ingin terbang kesana. Percakapan bertambah seru karena begitu banyak bahan yang bisa diperbincangkan (YOGYES gitu lho...) Dan akhirnya, sore itupun berakhir dengan bertambahnya kosapertemanan kami dengan PAUL, si "ORANG JOGJA".

Technorati Profile

Thursday, April 19, 2007

Bismillah

Sungguh...dengan segala kepenatan yang ada,
aku merasa begitu rindu dengan kampung halaman

Dan sungguh... dengan perasaan yang sungguh tak dapat dilukiskan,
Aku mampu membuat lukisan sebuah hati yang telah jenuh
Dengan segala beban yang tersentak di pundak

Allah...dengan segala kasih sayangMu
Berikanlah kemudahan, kekuatan, dan kesabaran
Untuk menjalani segala bentuk tugas yang harus ditunaikan

Bismillah...


PS:
Hari-hari due date banyak menjelang, tapi mata selalu ingin terpejam:P
Bagaimana ini ...?*%@#?!

Tuesday, January 09, 2007

Sore itu...

Suatu senja di ujung eastern suburb di kota Adelaide. Tanpa arah, kami keluar hanya sekedar untuk mengisi kantong bahan bakar mobil kecil kami yang sederhana. Perjalanan tanpa rencana yang membawa begitu banyak kejutan. Sungguh, kejutan indah yang kami simpan dalam kamar istimewa di masing-masing sanubari kami.

Hari itu sungguh panas. Menjelang sore, mendadak awan tebal melingkupi langit. Gelap, tak tertembus semburat mentari. Hendak kami batalkan perjalanan itu, tapi apa daya, jarum penunjuk bahan bakar mobil kami sudah berada pada batas minimum. Padahal pekerjaan suami yang berjarak lebih dari 30km dimulai pagi-pagi sekali. Hanya ada dua pilihan: sekarang atau tidak bekerja sama sekali. Akhirnya kami pun menyerah pada pilihan pertama.

Membuka pintu. Tidak ada peristiwa yang berarti sampai terdengar tetesan keras air hujan yang jatuh menimpa atap rumah. Begitu keras, hingga si kecil pun tertarik untuk melihat ke atas, ke angkasa yang menjatuhkan bulir-bulir air hujan. "Bukan...bukan air Ma... ini es..." teriaknya keras sekali. Akupun terkejut. Hilir mudik dia sibuk mengumpulkan butiran-butiran es sebesar kelereng itu. Jeritannya sungguh nyaring terdengar. Matanya terlihat begitu bulat dan berbinar-binar. Tak lama kemudian, mulutnya pun penuh dengan beberapa butir es yang dimasukkan dengan tergesa, karena tangan mungilnya kembali sibuk mengumpulkan butiran es.

Masuk ke dalam mobil. Si kecil terlihat begitu antusias menceritakan kembali pengalaman pertamanya kepada papanya. Tangannya disodorkan untuk menunjukkan bukti berupa es yang berhasil ditangkapnya. Bukti yang sayangnya gagal karena butiran es tersebut telah luruh dalam hangatnya genggaman tangan. Dan kami pun tertawa bersama karenanya.

Dalam perjalanan pulang, dengan tangki bensin yang terisi penuh kembali. Si kecil mulai terdiam seiring mencairnya es di tangan. Kuputar lagu-lagu lembut yang dibawakan oleh DK (maaf, initial ini benar-benar tidak terbalik. Memang benar Didi Kempot menjadi penyanyi dengan lagu yang paling sering kami dengarkan:). Terlihat hujan mulai jarang. Sengaja kami mengambil jalan berputar ke arah ujung jalan The Parade. Dan keajaiban kedua pun terjadi. Kami menemukan sebuah bukit kecil yang darinya kami bisa melihat seluruh kota Adelaide. Sinar mentari senja tampak kembali menyemburatkan sinar setelah hujan perlahan berhenti. Dan... amboi... lengkung pelangi yang begitu sempurna terlihat membingkai bukit kecil itu. Subhanallah... hanya kalimat itu yang dapat terucap dari mulut kami. Sungguh, kami begitu terpesona.

Warna pelangi yang perlahan memudar memaksa kami untuk segera pulang. Kewajiban lain telah menanti, memanjatkan syukur kepada "Sang Pencipta Bukit dan Pelangi". Kami pulang dengan mulut terkunci, namun kepala sibuk memetakan kembali keindahan yang tanpa sengaja kami temukan. Keindahan yang begitu mengejutkan, kejutan yang begitu indah ... sore itu....