Tuesday, March 18, 2008

Kisah di Balik Angkutan Umum (2)

Dari seluruh hasil pengamatan pada postingan sebelumnya, tidak ada yang kalah unik dengan tingkah salah satu penumpang bus jurusan Yogyakarta - Solo saat kami pulang mudik beberapa tahun yang lalu. Saat itu, ada seorang penjual yang menawarkan barang berupa alat untuk memotong kuku. Setelah sedikit bercuap-cuap di depan mempromosikan barang dagangannya, si bapak penjual mulai membagikan pemotong kuku tersebut. Satu untuk masing-masing penumpang. Saat itu, karena sibuk menenangkan putri saya yang kepanasan, saya tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar. But, my husband did. Sesuai dengan cerita suami, salah satu penumpang yang kebetulan duduk di dekat kami dengan segera menyambar pemotong kuku yang dibagikan tersebut. Dengan sigap, dipotongnya kesepuluh kuku-kuku jarinya. Tak ada yang tertinggal. Tidak lupa, dikikirnya pula kuku-kuku tangannya dengan permukaan bergerigi yang terdapat di balik alat tersebut.

Saat penjual mulai menarik barang dagangannya, terlihat hanya beberapa orang yang memberikan uang sebagai pengganti si pemotong kuku. Sebagian besar penumpang mengembalikannya kepada si penjual, yang berarti tidak ada transaksi jual beli yang terjadi. Termasuk salah satunya, si bapak yang sebelumnya terlihat sibuk memakai barang yang memang dimaksudkan untuk diperjualbelikan tersebut. Dengan santainya, dia mengembalikan kepada si penjual tanpa terbersit perasaan bersalah sedikitpun.

Saat mendengar cerita suami, saya hanya mampu terheran-heran. Terbayang bagaimana kusutnya penampilan si penjual saat itu, cukup menggambarkan bagaimana lelahnya dia menawarkan barang dagangannya dengan berpindah-pindah dari satu bus ke bus yang lain. Sampai hati si bapak tadi, yang sudah maksimal menggunakan tapi tidak mau membelinya. Padahal, saat itu potongan kuku cuma ditawarkan dengan harga seribu rupiah. Hanya seribu rupiah.

Aku berandai-andai jika aku melihat sendiri peristiwa itu. Akan kubeli dua pemotong kuku, satu diantaranya kuberikan ke bapak tersebut, satunya lagi hanya sebagai alasan supaya tidak terkesan bahwa kami menyindir si bapak (padahal iya..he..he..)
Dunia .. oh .. dunia ... ada-ada saja tingkah laku manusia..

Kisah di Balik Angkutan Umum (1)


Dari dulu, saya senang sekali menggunakan jasa angkutan umum. Dari angkot, bajaj, metromini (asal mendapatkan tempat duduk :), kereta api, ojek, becak (apalagi kalau atapnya dibiarkan terbuka..hi..hi), hingga andhong. Bahkan sebelum menikah, saya hafal dengan jalur-jalur metromini di Jakarta. Jadwal kereta api salah satu rute yang paling sering saya tumpangi juga selalu terlipat rapi di dompet, pertanda bahwa setiap saat saya siap untuk bepergian dengannya.

Memperhatikan tingkah laku orang di sekitar tempat saya berdiri atau duduk menjadi salah satu hal yang mengasyikkan. Ya, kalau sedang macet atau menunggu kereta yang bersilangan lewat, what else can be done:). Apalagi saya bukan tipe orang yang bisa membaca dengan nikmat saat berada di angkutan umum.


Sewaktu saya masih tinggal di rumah kontrakan di bilangan Utan Kayu, angkot dengan seri M35 selalu setia mengantarku pulang pergi dari dan ke kantor. Apalagi kalau suami sedang lembur atau dinas ke luar kota. Akibatnya, aku sempat hafal dengan tingkah laku hampir semua sopir, mengingat sopir dengan trayek tersebut hanya dipegang oleh beberapa orang. Salah satu sopir gemar sekali ngebut. Jajaran polisi tidur yang memenuhi jalur Senen - Utan Kayu dan terbaring tak berdaya tidak pernah diperhatikannya. Walhasil, penumpang dibuat sebal karena setiap kali kepala mereka terantuk dengan atap kendaraan. Karena sudah hafal, saya selalu memilih untuk duduk di samping bapak supir yang sedang bekerja setiap supir 'perally' tersebut memegang kendali. Paling tidak, efek benturan tidaklah separah bagi yang duduk di belakang.


Kereta api. Menggunakan jasa kereta api ekonomi jurusan Bintaro/Serpong - Tanah Abang/Kota pada hari libur juga sangat saya gemari. Apalagi kalau bukan karena hadirnya puluhan penjual berbagai macam produk dan hasil bumi dengan harga yang murah meriah. Bayangkan, saat itu jeruk mandarin bisa kudapat hanya dengan 5000 rupiah untuk setiap 10 bijinya. Semangka tanpa biji satu bulat besar bisa kubawa pulang tanpa perlu merogoh kantong dalam-dalam. Belum lagi buku-buku gambar dan berbagai macam poster yang sangat bagus untuk sarana belajar anak-anak, jepit rambut yang penuh warna, majalah wanita yang sudah out of date tapi masih layak baca, hingga aneka makanan dan buah yang sudah jarang kita temui: kacang kedelai rebus yang masih melekat di kuntum coklatnya, tape uli, duwet (jamblang), bahkan buah kecapi. Jumlah penumpang pada hari libur yang tidak begitu banyak membuat para pembeli merasa nyaman untuk memilih barang yang disukai. Namun sayangnya, kenikmatan tersebut tidak bisa saya rasakan pada hari-hari biasa, karena jumlah penumpang yang padat dan berjejal. Akibatnya, alih-alih menggunakan kereta kelas ekonomi, saya lebih suka membeli tiket kereta AC yang lebih mahal. Tentu saja dengan mengorbankan opportunity cost berupa keasyikan membeli barang-barang ekstra murah tersebut..ha..ha..


Kembali pada kegemaran saya menikmati tingkah laku penumpang lain. Dulu sekali, sebelum saya menemukan kegemaran yang satu ini, saya lebih suka tidur. Mau di dalam angkot yang ngebut ampun-ampunan ataupun metromini yang gemar ngerem mendadak, saya bisa tertidur nyenyak. Sampai bermimpi malah...ha..ha.. (asal jangan ngeces aja ya..hi..hi..). Bahkan, pernah saya jatuh terduduk dari bangku oranye menyala di sebuah metromini jurusan Blok M-Pasar Minggu, saking yahudnya saya tertidur. Padahal asal tau aja, dari arah Blok M jarak yang kutempuh tidak begitu jauh, mengingat kantor tempatku bekerja saat itu terletak di daerah Purnawarman, Kebayoran Baru. Terdorong hingga sampai ke depan, yang terjadi karena efek kelembaman saat si Metro berhenti mendadak, juga pernah. Sebenarnya penyebab utamanya adalah pegangan tanganku yang saat itu tidak terlalu kuat karena, tentu saja: tidur sambil berdiri !!! Hwarakadah...

Namun, semenjak saya menemukan keasyikkan tersendiri dengan memperhatikan tingkah laku penumpang, kebiasaan tidur di angkutan umum jauh berkurang. Ada penumpang yang selalu tertidur (he..he..aku punya teman rupanya:), membaca koran/buku setiap saat, sibuk memilih barang yang ditawarkan oleh penjual tapi tidak membelinya, melamun sambil membuang pandangan ke luar jendela, bahkan ada yang sering keliatan asyik ... NGUPIL .. hi .. hi .. hi ..


Picts are taken from here, here, here, and here.

Wednesday, March 12, 2008

Northern Lights Festival

Beberapa hari yang lalu, kami mempunyai waktu luang untuk membelah malam kota Adelaide. Kebetulan, waktu kami beberapa hari terakhir ini tidak lagi menjadi scarce resource. Dan, kamipun mengambil kesempatan itu. Berjalan-jalan sambil melihat Northern Lights Festival yang diadakan di pusat kota. Tentu saja, tetap dengan mempertimbangkan opportunity cost bahwa kami harus menunda tidur malam kami yang manis.

Festival lampu diadakan di empat bangunan di pusat kota, yang keempatnya terletak berdampingan: 2 gedung University of Adelaide, South Australian Museum, dan State Library of South Australia. Semula, kami kira festival tersebut akan berlangsung biasa saja. Apalagi siang harinya, kami baru saja dikecewakan oleh salah satu pameran animal show yang sangat mengecewakan, tidak sebanding dengan biaya tiket yang harus dikeluarkan. Namun ternyata perkiraan kami salah. Saat kami tiba di tempat pameran, wahhhhh... indah sekali.

Di depan masing-masing gedung tersebut, diletakkan box besar berisi proyektor yang berfungsi menyorotkan cahaya ke muka bangunan. Alhasil, cahaya tersebut sanggup merubah total penampakan gedung-gedung tersebut. Sulit digambarkan dengan kata-kata. Bahkan, foto-foto yang kami hasilkan juga tidak sanggup mewakili keindahan tersebut (he..he..alesan aja, padahal yang dipakai kamera abal-abal:). Coba lihat beberapa foto berikut, dan berikan komentar anda:)



Coba bandingkan dengan yang ini:



dan ini...




Gambar di atas adalah Bonython Hall (salah satu bangunan Adelaide Uni), sebelum dan sesudah disulap oleh lampu festival. Perubahan yang cantik bukan?


Mari berpindah ke gedung lain di universitas yang sama, Elder Conservatorium of Music.

Penampilan sepanjang hari:



Tampilan setelah dipapar oleh lampu festival:

Tema: Musik


Tema: Penuh dedaunan yang menjalar


Tema: Coklat


Dua gambar lain yang sempat kami tangkap dan saya anggap layak untuk ditampilkan:







Untuk mendapatkan efek 3 dimensi pada dua bangunan yang lain, selain sisi muka gedung, lampu juga dipaparkan pada sisi-sisi samping. Berikut gambarnya:







Perhatikan detail pada gambar berikut: terdapat gambar stempel, lembaran koran-koran lama, dan juga surat tulisan tangan yang dikirim lewat pos (theme sesuai sekali dengan fungsi gedung, library). Detail yang sangat cantik dan rumit bukan?




Dan, akhirnya kamipun pulang. Sungguh, kami sangat puas dengan festival ini. Cantik dan mengagumkan karena efek lampu begitu memperhatikan detail yang sangat rumit. Tak ada bayangan lampu yang meleset. Setiap lubang, jendela, pintu dan ornamen-ornamen gedung diperhatikan. Sangat puas, mengetahui opportunity cost yang kami korbankan tidak sebanding dengan pengalaman yang kami dapat (Duhh .. maaf ya kalau bahasanya serba cost dan expense, baru belajar ekonomi soalnya:)

Saturday, March 08, 2008

Sebentuk Kejujuran

Baru-baru ini, suami mempunyai suatu urusan yang membuatnya harus pergi ke kantor polisi. He..he..jangan berpikir yang negatif dulu ya.. Rencananya, dia hendak mengajukan Police Clearance, sebuah persyaratan yang harus dipenuhi saat melamar salah satu casual job disini.

Sesampainya di kantor polisi terdekat, suami ditemui oleh salah satu Police Officer, dan terjadilah percakapan berikut:

P: "Good morning, Sir. How can I help you?

S: "Good morning, how're you? I wanna get a Police Clearance. Can I get it here, please?

P: "Yes sure, Sir. It will be finished in 2 weeks and cost you A$ 46.50."

S: "Ok then." kata suamiku sambil mengeluarkan kartunya.

P: "I'm sorry, Sir.. but we don't accept a plastic here" police tersebut mengisyaratkan bahwa mereka hanya menerima cash, alih-alih kartu debit/kredit.

S: "That's alright. But let me take out some cash then, since I don't bring any" ujar suamiku.

P: "Ok, see you"


Sekembalinya dari mesin ATM, suami segera menuju ke counter dimana bapak polisi yang tadi melayani berada. Namun ternyata, si petugas telah berganti dengan sosok yang lain. Kali ini, polisi pengganti terlihat jauh lebih tua. Setelah berbasa-basi sebentar, si petugas berkata:

P:"Yup, the cost is A$47.50 and it will take about 2 weeks max."

Suamikupun menyerahkan uang sejumlah tersebut di atas. Namun demikian, tak luput timbul pertanyaan dalam hati suami: kenapa cost yang diminta berubah, lebih besar $1 dibanding petugas awal. Karena selisih yang ada tidak begitu material, dia tidak begitu mempersalahkannya. Tidak ada bukti berupa receipt (kwitansi) yang diberikan.

Suamipun keluar dari kantor polisi, menuju tempat dimana mobilnya diparkir. Belum sampai pintu mobil terbuka, terlihat seseorang berusaha menghentikan suami.

"Excuse me, sir"... teriak seseorang sambil berlari-lari. Oh..ternyata si bapak-polisi-tua-yang-melayani-terakhir-kali.

"I've made a mistake about the cost" katanya terengah-engah, maklum jarak antara kantor polisi dengan tempat parkir lumayan jauh. "I should say A$46.50, instead of A$47.50." terangnya lagi.

"Here's your change. I'm really sorry about that" katanya sambil menyerahkan koin satu dollar-an.

"Thank you" sahut suamiku saat si polisi menjauh, antara terpana dan bingung hendak mengucapkan kalimat apa yang tepat.

Kisah di atas adalah nyata adanya. Kisah yang mencerminkan sebuah kejujuran yang saat ini sepertinya sudah jarang bisa kita temukan. Masih teringat, bagaimana kasus polisi Indonesia yang sempat tertangkap oleh kamera dan beredar di YouTube. Masih terngiang, bagaimana polisi menghentikan motor kami di depan kantor tempat aku bekerja sambil memberikan isyarat bahwa proses pengadilan akan jauh berbelit (tanpa kami tahu, kesalahan apa yang kami perbuat).

Saya percaya, masih banyak polisi Indonesia yang jujur dan mempunyai komitmen yang tinggi atas pekerjaannya. Semoga, kisah ini bisa menjadi salah satu pemicu semangat bagi para polisi Indonesia dan kita semua untuk menjunjung sebentuk kejujuran. Hanya demi mengembalikan uang satu dollar yang bukan haknya, si polisi tua rela berlari jauh. Uang yang bahkan, kalau tidak dia kembalikanpun, tak seorangpun akan mengetahuinya karena tak ada receipt maupun tanda bukti yang tersurat. Hanya sebentuk kejujuranlah yang telah menggerakkan kaki-kaki polisi itu. Untuk mengembalikan uang satu dollar yang bukan haknya. Hanya satu dollar.

Adelaide, 8th March 2008