Wednesday, January 16, 2008

Suara-suara itu....begitu Mengganggu

Saat ini kami tinggal di sebuah unit 3 lantai yang terletak berdampingan dengan pusat kota. Dan sarang kami berada di lantai kedua unit tersebut. Kecil, namun cukup nyaman dan, alhamdulillah, lumayan murah untuk seukuran unit di downtown area.

Pada awalnya, semua berjalan damai. Sesuai dengan rencana dan harapan yang telah tertata. Hingga 3 minggu setelah kepindahan kami di unit ini, saat tetangga baru hadir dan tinggal tepat di atas unit yang kami tinggali. Hari-hari pertama masih biasa. Hari kedua, mulai tidak biasa. Suara-suara 'tidak sopan' sayup-sayup terdengar. Suara yang menunjukkan kalau mereka sedang melakukan aktivitas yang paling pribadi. Hari-hari selanjutnya makin keras. Sangat mengganggu.

Banyak usaha yang kami lakukan untuk menghentikan suara-suara itu. Seringkali saya atau suami menggetok atap unit kami dengan sapu, dengan pertimbangan bahwa atap kami adalah lantai mereka, dan berharap mereka 'sadar' kalau kami mendengar dan tidak berkenan. Lumayan effektif untuk untuk sehari dua hari. Selanjutnya??? Hmmm... musti mencari cara yang lain.

Surat kaleng terbukti tidak mempan. Surat yang menunjukkan kalau kami sangat sangat terganggu atas suara-suara yang terdengar setiap malam. Kaleng yang biasanya berbunyi nyaring tiada sanggup berlaga tanding. Si kaleng keok, sepertinya tidak pernah tersentuh dan terbaca.

Ketukan di daun pintu. Tetangga yang lain sudah sering kali mengetuk pintu si pelaku saat kejadian berlangsung (halahh...) Tiada hasil. Hanya umpatan-umpatan dalam hati yang tertinggal bersemayam. Umpatan kesal karena usaha untuk membangun tidur-tidur malam mereka yang manis terburai dan jatuh berkeping-keping.

Alhamdulillah, meskipun mereka melakukannya hampir setiap putaran waktu (pembaca pasti tidak percaya kalau saya katakan bisa sampai lebih dari sepuluh kali dalam sehari kami mendengarnya.. OMG!!!), putri kami selalu 'terselamatkan'. Belum tercemar, karena si kecil full time di child care. Kalaupun kebetulan sedang tinggal di rumah, dia selalu sibuk dengan komputernya, hingga "kicauan burung" pun tak terhiraukan.

Hingga pada satu waktu. Si pelaku perempuan berdiri di depan pintuku, dengan tangannya membawa sepiring kue basah yang terlihat manis. Memperkenalkan diri, bercerita panjang lebar mengenai dirinya. Tidak kupersilakan perempuan itu masuk ke dalam. Aku hanya terpaku, terpana, tidak sanggup berkata-kata. Menyadari bahwa begitu naifnya makhluk yang berdiri di depanku. Tak terhitung keluhan yang mampir di unitnya, si perempuan terlihat tidak sedikitpun merasakan gulana. Saat itu, ingin rasanya kuutarakan betapa "lengkingan-lengkingan" dia telah membuat kami muak. Namun, sejenak ku tersadar, bahwa sosok yang berdiri di depanku tidak akan pernah sanggup menggapai sebuah konsep "put yourself on the other's shoes". Tak akan pernah. Kuterima piring tersebut sambil kuucapkan terima kasih yang penuh basa-basi. Tak lebih.

Dan waktupun berlalu lambat. Suatu malam di tengah musim dingin yang menggigit, kupusatkan seluruh perhatianku pada lembaran-lembaran buku yang terasa tiada pernah habis. Perhatian yang akhirnya berurai setelah terdengar suara teriakan penuh kemarahan yang berasal dari lantai atas.

"What again??? Please, someone stop that crab", bisikku dalam hati.

"I've told you..blank..blank..blank.." terdengar suara bass lelaki merajai malam.

Ooo...this will be perfect for someone who's heading her exams.

"I want you to...blank..blank..blank.." si perempuan menanggapi dengan tidak kalah sengitnya.

Perkelahian itu terus berlangsung, hingga akhirnya... "Prangggg..." suara kaca yang pecah berkeping-keping seolah memberikan sebuah kesimpulan yang sangat dramatis.

"Astaghfirullah..." Dan lututku pun terasa begitu lemas. Aku memang tidak pernah suka terpapar pada suatu bentuk peperangan terbuka.

Mungkin karena peperangan tersebut, atau mungkin karena kekesalan yang terbentuk secara perlahan ataupun bertubi-tubi (di luar "kemesraan" mereka tentu saja:), tidak lama kemudian sepasang manusia yang tinggal di atas kami memutuskan untuk pergi. Kepergian yang berlalu tanpa suara. Hanya ketidakhadiran "suara-suara" yang menjadi pertanda bagi kami, para penghuni unit, bahwa mereka tak lagi melewatkan hari-hari di tempat yang sama. Dan ... berlalulah mimpi buruk kami. Saatnya kembali membangun mimpi-mimpi indah tanpa takut terpenggal oleh lengkingan dan desahan yang tidak penting:p

Wednesday, January 09, 2008

Summer O, Summer


Musim panas mencapai puncaknya. Suhu udara yang berkisar antara 35 derajat hingga 40 derajat skala Celcius sudah menjadi santapan berita sehari-hari. Cenderung basi malah. Yang paling ditunggu-tunggu oleh penduduk South Australia adalah suhu di atas 40 derajat. Bukan ditunggu dengan penuh harapan, tetapi dengan segala kecemasan. Ya, dengan kecemasan. Karena pada saat itu, bepergian menjadi tidak menyenangkan lagi. Panas matahari terasa membakar kulit. Menguras peluh. Mengeringkan tenggorokan.

Situs Biro Meteorology tiba-tiba menjadi acuan dalam membuat jadwal kegiatan, setidaknya bagi keluarga kami. Pada saat suhu diperkirakan panas sekali, warga semaksimal mungkin menghindari kegiatan di luar untuk sementara waktu. Memilih untuk tinggal di dalam rumah atau bangunan berAC yang terasa sejuk dan nyaman. Yang belum memiliki AC, tergegas untuk segera memilikinya. Menyingkirkan kipas angin dan evaporator yang sudah tidak terasa lagi fungsinya.

Dan kami, di unit kami yang kecil, juga tidak ketinggalan dengan kehebohan penduduk setempat. Dengan susah payah, akhirnya kami memiliki AC portable bekas yang alhamdulillah, lumayan murah. Tadinya kami bertahan untuk tidak membeli AC. Selain karena kami akan segera pulang ke tanah air, pertimbangan electricity bill juga selalu melintas di kepala. Tapi, setelah dihajar dengan suhu di atas 40 yang merajai dan mewarnai hari-hari dua minggu yang lalu, akhirnya kami menyerah. Apalagi saat melihat putri kami yang tak hendak memakai baju pada saat tidur malamnya. Bendera putihpun berkibar. That's enough. Masa bodoh dengan tagihan listrik. Tidak peduli bahwa kami akan segera meninggalkan negeri dan unit yang kami tinggali, termasuk AC di dalamnya. Yang nanti biar dipikir nanti, enteng dan gampang.ha..ha..

And here we are! Ready for the summer:)

Pict is taken from here.

Percakapan tentang Sebuah Pertanyaan


Ada satu pertanyaan..
Yang memberontak dari segumpal organ di dalam dada
Belum terjawab
Belum bermakna

Ada satu pertanyaan..
Yang berkehendak untuk lahir dari ujung saraf-saraf lidah
Belum terucap
Belum berarti

Begitu ingin kulontarkan pertanyaan itu
Pada seseorang yang tepat untuk mengulasnya
Tapi segenap unit-unit neuron yang bermukim di benak menolaknya
Seperti biasa, berusaha berpikir logis dalam setiap keadaan

"Cepat..lontarkan pertanyaan itu.." bisik si Hati.

"Jangan..tidakkah engkau tahu wahai Hati.. pertanyaan itu hanya akan menyakiti Hati manusia yang memang dituju untuk menjawabnya" sambung synapsis-synapsis yang berjuluran di benak.

"Menyakiti..atau membuatnya tersudut?" kilah Hati dengan emosi terpancar dari tubuhnya yang merah.

"Apapun Hati.." Benak bersikukuh.

"Tapi aku begitu ingin mendengar jawabannya wahai Benak. Aku begitu ingin.." sahut Hati dengan suara yang semakin pelan. Dia sadar bahwa kala Benak masih begitu kuatnya memegang pendapat, Hati harus mengalah. Ya... sadar seluruh bahwa pada saat itu, Lidah, sang pelontar pertanyaan, sepenuhnya berada dalam kendali sang Benak.

"Maafkan aku Hati. Untuk saat ini, kita belum bisa mendengar jawaban yang ingin kau dengar." tegas sang Benak dengan enggan. Ya..untuk apalagi meneruskan percakapan, disaat begitu banyak organ tubuh lain yang memerlukan pemikirannya. Menunggu perintahnya.

Dan pertanyaan pun masih tergantung di sudut kamar di dalam ruang Hati. Menunggu waktu, dimana sang Benak terlena, atau terlampau lelah untuk meneruskan rangsangan-rangsangan yang singgah di neuron-neuronnya. Pada saat itu, sang Hati akan dengan sigap meraih sang pertanyaan dari gantungannya, untuk kembali membujuk sang Benak memerintahkan Lidah melontarkan pertanyaan itu.

Adelaide,
January 9th, 2008

Pict is taken from here.