Friday, November 24, 2006

Ibu

Hari-hari libur panjang musim panas telah menjelang, namun sampai saat ini aku belum tau apa yang harus dan akan kulakukan. Kusibukkan diriku didepan komputer, merapikan folder-folder email sambil mengecek perkembangan final result yang satu-persatu keluar dan selalu membuat jantung terasa turun sampai ke perut dasar. Sampai kutemukan salah satu email dari sebuah milis yang dulu pernah membuatku begitu terharu, dan ternyata masih demikian adanya saat ini. Email tersebut aku salin sampai dengan titik komanya tanpa mencoba untuk mengedit, demi menjaga keasliannya.


Ibu
Oleh: Dyah.Artorini

Tanganmu, Ibu...
Tanganmu, Ibu...
Ibumu adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
(Emha Ainun Najib)
Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya didepan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang. Ba'da Ashar, "Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. "Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya "Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya kehalaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga. "Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah"pinta Ibu. "Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal. Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa itu...?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya. Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya tilawah selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal? "Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya Tak berhingga. Adzan isya berkumandang, Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara mushala kecil rumah. Seperti biasa surat cinta yang dibacanya selalu itu, Ad-Dhuha dan At-Thariq. Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh Allah, sayangi Mamah" spontan saya memohon. "Neng..." suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya."Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum manis sekali. "Penyakit orang tua". "Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya. Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkang langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih semangat belajar. Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan! Kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan! Kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan! Kau lebih dari itu
Kau adalah sinopsis semesta. Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca darisebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan.... Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya? ..Pernahkah..?Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat, saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut,tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.

Saturday, November 18, 2006

Oi..oi...

Akhirnya...hari-hari exam berlalu sudah. Meskipun hasilnya wallahu 'alam, rasanya legaa...banget. Saatnya bersendau gurau, menghirup udara yang (terasa) berbeda, mencicip kemerdekaan diri yang entah pergi kemana selama sebulan terakhir ini...

Alhamdulillah..... Begitu ringan hati ini hingga dunia menjadi seribu kali lipat lebih ramah. Tetangga yang memang jarang tersenyum, entah angin darimana mendadak menyapaku kemarin. Hujan yang menyapu selama beberapa hari terakhir exams, sekarang hilang tergantikan oleh sinar mentari yang (terlalu) hangat... Oi..oi...betapa aku melihat perbedaan yang nyata... Kuyakin pasti bahwa ini lebih karena suasana hati yang tidak gloomy lagi ..

Oi..oi...betapa inginnya aku menyebar aura keriangan ini ke semua sosok disekelilingku. Kepada si kecil yang selalu setia menemaniku belajar, kepada belahan jiwa yang sudah begitu sabar menungguiku begadang, dan kepada semua teman yang membantuku dengan resume dan fotokopian workshop disaat aku tidak bisa hadir, duh....

Oi....oi... bunga 'kirim kabar', tolong sebarkan senyumku kepada bapak ibu dan semua sahabat di belahan bumi yang lain.... Katakan betapa aku merindukan sosok mereka...

Tuesday, October 10, 2006

....

Kala bibir ini berdarah
Masih ada masa untuk mendesah
Namun disaat hati ini lara
Masih mampukah raga ini untuk mendura?

Adelaide, 2 Oktober 2006

Monday, October 09, 2006

Time Anomalies

I just realized that the time, not only water, has also anomaly
24 hours a day…
Is it too short?
Is it too long?
Or is that the way it is…
I don’t know…
Maybe I will never know
Because now…
24 hours is not enough to finish all the tasks that should be done
But, 24 hours is definitely too long for someone who is waiting for her beloved ones coming from the other part of the world…

So… does the time have anomaly?
Or does it only about relativity?

Adelaide, 19 September 2006

Sunday, October 08, 2006

Liebe

Saat warna cinta mulai sepadan..
Separuh dunia yakin kutempuh
Tapi disaat cinta menjadi jauh…
Separuh menjadi penuh seluruh

Adelaide, September 2006

Rembulan

Wahai buah cintaku….
Matahari semburat lembayung telah jatuh di ufuk barat
Pertanda pangeran malam segera datang

Wahai belahan jiwaku…
Penguasa malam turunlah sudah
Gelap perlahan menciptakan tirai
Mari masuk sayang…
Sampai saatnya tiba…
Putri rembulan keluar dari singgasana
Membawa pendar jingga yang sempurna
Menyibakkan tirai temaram pangeran malam
Menyilakan tunas muda tak berdosa
Untuk bermain, berdendang, riang…

Adelaide, August 2006

Wednesday, September 20, 2006

Pelangi

Anakku,
Pernahkah engkau sadari,
Tanpa kehadiranmu…dunia menjadi abu-abu
Kelam…beku…

Anakku,
Pernahkah terbersit dalam benakmu,
Senyummu adalah percikan warna merah bagi ibu
Suaramu laksana hijau dalam lebatnya hutan,
Lembut jarimu bagaikan biru bagi kilauan samudera,
Tangismu adalah kuning bagi semburat mentari di pagi hari

Anakku,
Mungkin tak akan pernah kau tau,
Kehadiranmu membawa sejuta pelangi bagi ibu
Hingga dunia…
Tak lagi menjadi abu-abu
Adelaide, September 2006

Awan

Awan….
Bawalah daku terbang…
Melintasi gurun
Menyeberangi lautan
Merentas buih dan debur
Untuk sekedar singgah di pelukan buah hati tersayang…
Adelaide, August 2006